Written by Unknown on 06:47
Patih Gajah Mada
Kisah Gajah Mada kali ini merupakan rangkaian kejadian semenjak Majapahit dipimpin oleh dua ratu, Dyah Wiyat dan Sri Gitarja yang diangkat memimpin Majapahit karena Jayanegara tidak meninggalkan keturunan lelaki yang bisa diangkat menjadi putra mahkota.
“Ada sebuah hal penting yang harus kau kerjakan. Bantulah aku untuk mencuri dua buah benda pusaka penting di istana Majapahit, masing-masing Cihna Nagara Gringsing Lobheng Lewih Laka dan Songsong Udan Riwis.”
Adalah pesan tersebut yang diterima Branjang Ratus, putra Ki Buyut Padmaguna, saat menghadap bibinya, Sri Yenda, atas permintaan Ki Buyut. Kedua benda tersebut adalah pusaka negara Majapahit yang digunakan dalam menobatkan raja-raja pendahulu Majapahit, Raden Wijaya dan kemudian Jayanegara, serta kedua Ratu tersebut.
Majapahit kemudian dilanda bencana alam. Gunung Kampud meletus disertai gempa dalam keadaan musim panas yang kering kerontang. Di saat itulah istana Majapahit geger karena dimasuki maling. Kedua pusaka tersebut hilang dicuri, mempermalukan Gajah Enggon sebagai Senopati Bhayangkara, pimpinan pasukan khusus, serta Gajah Mada sebagai Patih yang harus bertanggung jawab kepada Mahapatih Arya Tadah dan kedua Ratu Majapahit.
Gajah Enggon meletakkan jabatan dan atas petunjuk Ibu Suri Gayatri Gajah Enggon mencari jejak pencuri kedua pusaka tersebut ke Hujung Galuh membuntuti jejak hujan, sekaligus sebuah pesan pribadi bahwa hidup Gajah Enggon akan bermula di sana. Sebuah petunjuk yang aneh bagi prajurit Bhayangkara tersebut. Dengan bantuan Pradhabasu, mantan Bhayangkara yang telah kembali menjadi penduduk biasa di buku sebelumnya berangkatlah mereka ke pelabuhan yang sekarang menjadi kota Surabaya.
Di saat yang sama Majapahit dilanda kericuhan, lima orang berkuda membakar-bakar rumah penduduk. Aksi tersebut sulit diatasi oleh para prajurit dan Bhayangkara, namun Gajah Mada merasa itu adalah sebuah taktik dari perusuh agar pasukan menyebar keluar istana. Gajah Mada masih memikirkan kembalinya pencuri tersebut ke istana atas petunjuk Ibu Suri Gayatri. Kelima orang perusuh tersebut sempat dijumpai Gajah Enggon dan Pradhabasu, namun tugas dan kepentingannya memburu pencuri pusaka negara ke Hujung Galuh tak membuat mereka kembali ke Majapahit meskipun dengan rasa penasaran yang tinggi bahwa merekalah pencuri tersebut.
Prajurit istana dan Bhayangkara menjaga rapat istana, namun seperti pada pencurian sebelumnya berhasil lolos memasuki gudang pusaka karena ilmu sirep yang membuat kantuk seisi istana. Penjagaan yang ketat dan pagar betis yang rapat setelah maling tersebut masuk ke dalam gudang pusaka juga masih membuat pencuri tersebut lolos dengan bantuan kabut yang sangat tebal di malam hari. Kabut hilang bersamaan dengan hilangnya mahkota raja beserta Ibu Suri Gayatri.
Namun kemudian biksuni Gayatri kembali lagi, membuat segudang pertanyaan bagi Gajah Mada. Atas pertemuan singkat di keputren Gajah Mada menyimpulkan usaha makar dan kudeta dari seseorang yang mencuri benda-benda pusaka tersebut, di mana benda-benda pusaka tersebut biasa digunakan dalam menobatkan seorang raja yang naik tahta.
Keta dan Sadeng adalah dua wilayah yang dicurigai Gajah Mada. Kedua wilayah ini sudah dua kali tidak hadir dalam pasewakan (pertemuan tahunan) di alun-alun Bubat. Pasewakan adalah pertemuan tahunan para raja di bawah bendera Majapahit. Pasewakan kali ini diadakan dengan menggelar latihan perang bersama dari seluruh kesatuan, termasuk simulasi gelar perang taktik baru, yaitu Bayu Bajra. Salah satu utusan yang hadir adalah rombongan kerajaan Swarnabhumi (Palembang/Sumatra) yang berlabuh di Hujung Galuh, membawa puluhan kapal besar yang baru pertama kali dilihat Majapahit, dan Aditiawarman –yang masih kerabat keluarga Majapahit– membawa benda aneh bagi Gajah Mada, sebuah peledak atau mercon.
Gajah Enggon dan Pradhabasu di Hujung Galuh akhirnya memisahkan diri. Gajah Enggon tetap membuntuti jejak pencuri pusaka ke utara dan Pradhabasu bergerak ke selatan ke arah Keta dan Sadeng untuk membantu telik sandi yang sedang beroperasi mencari bukti Keta dan Sadeng yang dikabarkan akan memberontak. Operasi para telik sandi ini pun akhirnya dikabarkan ke Gajah Mada yang saat itu menjaga istana sekaligus mengadakan pasewakan.
Aditiawarman kemudian pamit dari pasewakan, lebih cepat dari jadwal yang telah diutarakannya kepada kedua Ratu Majapahit untuk kembali ke Hujung Galuh dan berlayar kembali. Di saat yang sama para telik sandi Keta dan Sadeng mengabarkan semua perkembangan gerak-gerik Gajah Mada dan kondisi pasewakan, termasuk berita prajurit istana yang diberangkatkan ke Keta dan Sadeng setelah pada pasewakan tersebut Gajah Mada membuktikan rencana berontak dengan bukti akurat yang dikirim oleh Pradhabasu dan telik sandi yang sedang beroperasi di sana.
Berhasilkah Gajah Enggon mengejar pencuri kedua pusaka Majapahit tersebut?
Siapa pula pencuri lain yang mencuri mahkota raja?
Bagaimana taktik Gajah Mada meredam upaya makar di Keta dan Sadeng?
Terjadikah perang di Keta dan Sadeng?
Siapa Branjang Ratus, Ki Buyut dan Sri Yenda yang diceritakan di awal buku?
Bagaimana Arya Tadah meletakkan jabatannya dan menobatkan Gajah Mada menjadi Mahapatih?
–
Selain rentetan peristiwa di atas, Langit Kresna Hariadi memberi sisipan cerita flash back tentang pemberontakan di Singasari, tentang keris Empu Gandring, tentang Kertanegara mengusir utusan Tartar (Kubilai Khan), Jayakatwang melakukan kudeta kepada Kertanegara hingga Sanggramawijaya (Raden Wijaya) naik tahta dan membuat negeri baru Majapahit.
Sebuah fiksi sejarah yang menarik!
Read More...